“Pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Allah”. Demikian amirul mukminin, Ali ibn Abi Thalib pernah berpesan. Pesan paling penting dari ungkapan ini, bahwa pelajaran utama dalam hidup adalah mengenal Allah. Dalam ajaran sufistik makrifatullah pun disebutkan sebagai pangkal agama Islam.
Bahkan, kalau kita ingat kembali, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasul Saw. pun tentang pentingnya mengenal Allah. Saat itulah pertama kali konsep Tuhan atau Rabb itu dikenalkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. melalui malaikat Jibril.
“Bacalah demi asma Tuhanmu yang telah menciptakan, yang menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung. Bacalah demi pemeliharamu yang Maha Mulia, yang telah mengajari lewat perantaraan qalam!” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Pelajaran pertama yang diterima Rasul inilah yang harus meneguhkan hati kita tentang siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Kita hanyalah makhluk yang diciptakan sebagai bagian kecil dari alam semesta.
Dari wahyu tersebut, pelajaran pertama yang diperlihatkan kepada Rasul untuk kemudian diajarkan pada umatnya adalah tauhidullah. Allah adalah Tuhan yang aktif berkarya, bukan Tuhan yang pasif, apalagi dikendalikan oleh pikiran manusia. Dia yang menjaga, bukan dijaga!
Allah adalah subjek awal kehidupan. Dia adalah Tuhan yang pertama yang aktif mencipta dan akan terus mencipta. Dia berbuat nyata. Dia tidak perlu kita untuk menyembah-Nya. Akan tetapi kita sendiri yang harus mengimani-Nya sebagai pencipta kita dan pencipta seluruh kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kita tahu, untuk apa kita berbuat baik, beribadah, dan taat kepada-Nya.
Karena setelah kita mengetahui diri kita sendiri, tahu apa yang harus kita lakukan sebagai makhluk-Nya; di situlah sejatinya kita telah mengenal Tuhan. Seperti ungkapan yang seringkali diingatkan oleh para ulama, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabahu – Siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.”
Untuk mengenal Allah, tidak perlu pergi jauh-jauh. Kita tidak harus pergi ke ujung dunia mana pun untuk mencari tahu tentang keberadaan-Nya. Lihatlah diri kita, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari gerak tubuh yang bisa kita perhatikan hingga denyut nadi yang hanya bisa kita rasakan.
Bukankah itu bukti adanya Tuhan yang menggerakkan? Tubuh yang selalu aktif bergerak, pikiran dan perasaan yang selalu halus terjaga adalah modal utama agar kita mengenal Allah, Rabb kita sendiri.
Seperti halnya pemuda bernama Ibrahim yang selalu menjaga tubuh, pikiran, dan perasaannya tetap terjaga untuk bisa mencari Tuhan. Dan, pada akhirnya, semua itu akan membawa kita bertemu dengan Allah Sang Maha Pencipta semesta. Jika telah mengenal siapa Tuhan, kita akan memahami visi misi hidup dengan benar. Kita akan tahu tujuan hidup yang sebenarnya, hidup yang akan membawa pada kebahagiaan hakiki.
Tujuan hidup bukan untuk menumpuk harta sebagaimana Qarun yang hidup di masa Nabi Musa as. Hartanya berlimpah ruah namun berakhir bencana. Allah menenggelamkan Qarun beserta seluruh harta miliknya ke dalam perut bumi.
Tujuan hidup juga bukan untuk kekuasaan. Seperti halnya Firaun Ramses II, raja Mesir yang berambisi menciptakan kekuasaan seluas-luasnya. Ambisinya itu pula yang akhirnya menenggelamkan dia di lautan. Dia pun mati sia-sia.
Tujuan hidup pun bukan untuk mengikuti hawa nafsu sebebas-bebasnya. Seperti musuh-musuh Rasul Saw yang dengan segala cara menentang ajaran yang dibawa Rasul karena dianggap menghalangi kehidupan dan kesenangan mereka.
Setelah mengenal Tuhan, maka kita akan tahu kewajiban yang melekat sebagai seorang makhluk-Nya. Salah satu kewajiban yang harus kita jalankan adalah beribadah. Ibadah adalah bukti ketaatan kita pada Allah. Tetapi, salah satu tuntutan dalam menjalankan ibadah adalah dengan menunaikannya secara tulus. Namun, seringkali kita mengeluh bahwa betapa beratnya untuk ikhlas dalam beribadah.
Ketika teman kita mengajak untuk menonton film di bioskop, ternyata film mulai tayang pukul 17.30 dan berakhir pukul 19.30. Sudah tentu, film tersebut harus “menabrak” jam shalat Magrib. Lalu, kita merasa dilematis, apakah akan memenuhi ajakan mereka demi alasan pertemanan atau menolak karena harus mengabaikan shalat?
Kalau pun harus mengikuti ajakan mereka, apakah kita akan mengambil jeda untuk melakukan shalat terlebih dahulu di tengah-tengah tontonan, melewati kerumunan penonton, mengganggu mereka yang asyik menonton, berkorban ketinggalan cerita film tersebut?
Itu hanya sebagian kecil dari ujian keikhlasan untuk beribadah. Lebih dari itu, masih banyak sekali ibadah lain yang menuntut keikhlasan dari kita sebagai hamba Allah.
Lalu, bagaimana agar ikhlas itu terwujud? Ikhlas dalam beribadah hanya bisa terwujud saat kita sebagai manusia telah sampai pada derajat makrifatullah. Mengenal Allah, mengenal Rabb yang telah menciptakan dan senantiasa menjaga kita. Tanpa berada di posisi itu, kita tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan ibadah.