Hari ini saya berkesempatan berbagi kelelahan dengan sang pemilik warung. Bagaimana sulitnya mencari uang dan sebegitu mudahnya menghabiskan dalam kejapan mata. Saya, yang sempat bertanya padanya kenapa terus menerus buka usaha warung. Kenapa tidak beralih ke usaha warung Yang agak lebih menjanjikan. Dengan setengah marah, dia menjawab: “biar pun hasilnya kecil, Yang penting duitnya tetap berkah.”
Di dalam kitab “Subulu as-Salam”, saya menemukan arti yang tepat tentang “berkah”. Al-niyamu dan tsubut al-khair. Berkah, katanya ialah bertambahnya kebaikan dan kebaikan tersebut menetap selama-lamanya dalam suatu barang, kekayaan, dan harta benda. Tak heran jika ada orang yang mendapatkan gaji atau penghasilan 10000 per hari, tetapi masih bisa memenuhi kebutuhan selain pada pangan. Inilah Yang dimaksud dengan “rezeki berkah” yang tak pernah berkurang manfaat dan kebaikannya walau secuwil.
Semakin hari, saya bisa merasakan kenapa si ibu warung itu tetap membuka warungnya untuk didatangi karyawan sebuah perusahaan. Dimana bila tiba bulan tua, ada beberapa karyawan Yang berutang dan dibayar ketika tanggal muda tiba. Anehnya, meskipun warung tersebut sederhana dan ala kadarnya, tak pernah gulung tikar. 3 tahun lamanya, dia membuka warung kecil dengan dampak luar biasa bagi hidupnya dan orang lain.
“Bu, hehehe, besok ya?”
Si ibu itu tersenyum dan mengangguk! Subhanallah mulia banget hati si Ibu ini. Semoga tetap berkah, ya, bu. Bisik saya.
Setiap helaan nafas, bagi saya, terkandung rezeki. Dengan tubuh yang kita miliki dilengkapi organ pernafasan yang masih berfungsi, diri ini masih bisa beraktivitas. Alhamdu…lillah! Dengan nafas inilah, Ruh tidak meninggalkan kita. Saya dan Anda masih bisa mencari rezeki dengan cara yang beragam.
Satu hal yang sering kita lupakan. Di era yang serba modern ini, orang tidak lagi memandang kehalalan cara ketika sedang mencari sebongkah materi. Bagi saya, yang tidak peduli dengan hasil perolehan materi, kehalalan cara ditempatkan pada prioritas utama dalam bekerja dan berkarya. Pepatah orang tua dulu, “Apa pun pekerjaannya, yang penting halal” memang sangat filosofis. Tujuan utama mendapatkan sejumlah materi ialah dengan cara halal sehingga memeroleh hasil yang halal juga.
Terkumpulnya sebongkah materi yang super banyak, tidak bersesuaian dengan konsep “rezeki” apabila tidak digunakan untuk kemashlahatan. Makanya, daripada kaya harta tapi tak membahagiakan; mendingan kaya jiwa, sebab semiskin apa pun kita, akan selalu berupaya mempertahankan hidup ini secara elegan. Tidak gampang putus asa. Tidak mudah mengeluh. Dan, tidak mudah berkata, “Tuhan, ENGKAU begitu tidak adil”.
Rezeki selalu terkait erat dengan kenikmatan dari Tuhan dan luap syukur dari seorang anak manusia. Selama dirinya memandang bahwa Tuhan begitu dekat dengan kita, selama itu pula tidak ada Yang namanya pengingkaran terhadap nikmat Allah. Kecilnya penghasilan atau gaji dalam sebulan, digunakan untuk sesuatu Yang bermanfaat bagi dirinya dan keluarga. Apalagi ketika penghasilannya besar; kita akan bersedia berbagi kemelimpahan dengan para tetangga. Inilah Yang saya sebut dengan, apapun rezekinya, Yang penting halal.
Berapa pun yang kita hasilkan dalam sebulan ini, menjadi berlipat kebaikannya. Menjadi mediator kedekatan kita dengan sang Maha Pencipta Kehidupan, Allah Swt. Tuhan, seperti Yang dibilang sebuah hadits Qudsi, begitu dekat dengan orang-orang miskin. Ketika kita dengan ikhlas menyisihkan sebagian penghasilan kepada mereka, barulah materi tersebut bisa disebut dengan rezeki. Kalau hanya menjadi media ujub dan takabur, boleh dong, materi Yang Anda peroleh itu bukan rezeki.
Wallahua’lam bishshawwab. Ya…ALLAH, Ya RAZZAQ, Yang MAHA PEMBERI REZEKI.
Penulis artikel ini ialah pengelola www.bincangkata.com