Andai kita tengah berada dalam suatu penjelajahan, di mana rute yang kita lalui telah disusun dan direncanakan oleh sang panitia. Tentunya kita akan menemukan dua jenis petunjuk arah: petunjuk arah yang benar dan petunjuk arah yang salah.
Petunjuk arah yang benar adalah yang membawa kita pada keselamatan, di mana garis finis kita temukan dengan tepat. Kita selamat sampai tujuan karena telah mengikuti petunjuk yang tepat.
Sebaliknya, mengikuti arah yang salah akan membuat kita tersesat. Di mana garis finis tak kunjung diketemukan. Kita pun tersesat karena tidak memilih arah yang benar secara cermat.
Petunjuk arah yang memberi dampak keselamatan bagi manusia, itulah petunjuk yang melahirkan kemaslahatan. Satu regu peserta penjelajahan tidak akan saling salah-menyalahkan, karena tidak menemukan masalah di tengah perjalanan.
Mari kita mengingat kembali apa yang telah diutarakan di muka, bahwa tiada petunjuk yang paling benar bagi manusia dalam mengarungi medan dunia selain Al-Quran. Artinya, Al-Quran pasti melahirkan kemaslahatan, bukan kerusakan.
Kita, sebagai muslim sekaligus khalifah muka bumi yang baik, adalah suatu keharusan berpedoman pada Al-Quran. Dengannya kita akan terhindar dari tindak-laku salah kaprah yang berakibat pada kerusakan, bukan kemaslahatan.Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah berujar, “Jalan yang diajarkan syariat Islam adalah jalan yang paling tepat dalam pengerjaan ibadah kepada Allah. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan hendaklah istiqomah dalam mengerjakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya,”.
Seringkali kita tidak menyadari kalau kerusakan yang terjadi di sekitar kita justru ditimbulkan oleh ulah perbuatan kita, seperti kerusakan alam. Niat kita memang baik melakukan pembangunan demi kesejahteraan insan banyak. Tapi kita kerap melupakan tetunjuk arah yang Al-Quran jabarkan.
Pohon-pohon kita tebang tanpa aturan, dampaknya merusak ekosistem. Padahal, Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi,” (QS Asy-Syu’ara [26]: 183).
Sungguh peringatan yang benar. Abai terhadap peringatan Allah, berarti menantang kehidupan yang serba susah. Tidak ada kedamaian dan ketentraman hidup di tengah-tengah kondisi yang rusak, baik kerusakan alam maupun kerusakan sosial.
Kerusakan tatanan sosial antara lain ditandai dengan perselisihan dan fitnahan. Akibatnya penduduk bumi akan terpecah, murka Allah pun akan membuncah.
Maka, kalaulah belakangan ini kita menyaksikan begitu banyak kerusakan, baik alam maupun sosial, sudah sepantasnya jika kita bertanya ke dalam diri; sudahkah kita memposisikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup?Syeikh Ibnu Taimiyyah berujar, “Apabila sebuah kaum berpecah belah, niscaya mereka akan rusak serta binasa, dan jika mereka bersatu, niscaya mereka akan baik dan berkuasa. Karena sesungguhnya persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah azab,”.
Kalaupun kita sudah merasa demikian, sementara kerusakan masih juga belum dapat ditanggulangi; mungkin kita kurang gigih mengajak orang lain untuk kembali ke petunjuk hakiki, yakni Al-Quran al-Karim. Ya, sebab kita tidak mungking menciptakan kemaslahatan seorang diri, melainkan membutuhkan tangan-tangan lain yang terorganisir dengan tepat.
Demikianlah, sesiapa yang menjadikan Al-Quran sebagai putunjuk hidupnya demi melahirkan kemaslahatan umat akan senantiasa menghindari perselisihan. Rasulullah sendiri pernah melakukannya seperti saat menunda rencana perombakan bangunan Ka’bah demi menjaga hati kaum muslimin; juga Ibnu Mas’ud saat mengingkari ‘Utsman demi menyempurnakan safar, Ia tetap salat di belakang ‘Utsman dengan sempurna.