Peradaban Islam di Baghdad adalah Islam yang mencapai puncak keemasannya. Salah satu aspek yang menjadi tolok ukur kemegahan Baghdad dan sekaligus sebagai standar kesuksesan peradaban Islam adalah pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologinya. Seperti dicatat dalam berbagai buku sejarah, Islam Baghdad adalah Islam yang gemilang yang menandakan pencapaian peradaban dan kemajuan.
Kejayaan Baghdah ini terjadi di masa Kekhalifahan Abbasiyah. Baghdad yang dijadikan ibu kota kerajaan ini, merepresentasikan kota modern seperti New York, Paris, atau London di dalam peradaban Barat modern. Hal ini bisa kita lihat dari pengakuan yang diberikan oleh Marshal Hodgson dalam karya monumentalnya, The Venture of Islam, yang mengatakan bahwa Baghdad merupakan bintang cemerlang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.
Di antara arsitek kota Baghdad yang sangat berjasa dalam menyusun bangunan peradaban Islam adalah Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun, dua khalifah paling masyhur dalam sejarah Abbasiyah. Al-Rasyid dan Al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah-khalifah yang arif dan bijak. Pada era kekuasaan mereka, peradaban Islam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang keilmuan, kesenian, dan kebudayaan.
Keduanya dikenal sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya mendirikan lembaga-lembaga ilmiah dan mengundang para sarjana Muslim dan non-Muslim untuk melakukan penelitian dan penterjemahan buku-buku asing. Nama Al-Ma’mun sangat erat dikaitkan dengan Darul Hikmah, pusat intelektualitas Islam. Pada zamannyalah, karya-karya penting filsafat dan sains dari Yunani, Persia, dan India diterjemahkan secara luas ke dalam bahasa Arab. Al-Rasyid dan Al-Ma’mun adalah dua tipikal pemimpin Muslim yang berusaha membangun Islam sebagai peradaban dunia.
Bagdad di masa kejayaannya adalah kota model bagi peradaban dunia saat itu. Simbol-simbol kemegahan seperti perpustakaan, klinik kesehatan, laboratorium sains, dan berbagai fasilitas publik, menjadi tolok ukur sebuah kota maju di abad pertengahan. Kota-kota lain seperti Khurasan, Isfahan, dan Kairo, berusaha meniru dan membangun simbol-simbol tersebut.
Pada era kejayaan Baghdadlah hidup dan berkembang pemikiran tasawuf sehingga melahirkan banyak tokoh sufi diantarnyan adalah Rabi’ah Al-Adawiyah, al-Hallaj, Al-Bustami, dan Ibn Arabi (yang terakhir ini lahir di Cordova dan hijrah ke tanah Abbasiyah). Di era itu pulalah para filusuf jenius Al-Farabi, Al-Razi, dan Ibn Sina, hidup dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran filosofis mereka.
Selain itu, di masa ini juga lahir para pemikir keagamaan (ulama dan fuqaha) juga hidup dan menelurkan karya-karya jenius mereka. Di atas itu semua, Baghdad juga menelurkan erotisme “kisah seribu satu malam,” harem, dan pabrik-pabrik anggur.
Peradaban Islam di Baghdad dibangun berdasarkan basis teologi yang intinya diambil dari pesan-pesan universal Alquran. Alquran adalah basis teologi dan moral paling orisinal dan paling otoritatif dalam Islam. Yang lain hanyalah penafsiran terhadap kitab suci ini. Salah satu keuntungan Baghdad adalah bahwa pada masa-masa awal dinasti ini, kodifikasi (pengumpulan/ pembukuan) teologi dan hukum Islam belum diciptakan, atau paling tidak belum tersebar luas, sehingga keragaman penafsiran dan perbedaan pendapat belum begitu banyak.
Semangat universalitas dan fleksibilitas Al-Qur’an-lah yang memungkinkan orang-orang seperti Al-Hallaj, Abu Bakar Al-Razi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, muncul, dengan tetap mengaku Muslim, menyembah Allah, dan memberikan sumbangan pengetahuan yang berharga buat kemanusiaan dan kejayaan Islam.