Kita tidak pernah lepas dari dosa, karena kita tempatnya salah dan lupa. Jangan heran ketika Allah Swt. memberikan aturan hidup yang nggak boleh kita langgar – dikarenakan kita sering lupa – maka aturan itu kita langgar juga.
Ketika Allah Swt. memerintahkan untuk tetap menjaga shalat wajib, eh, kita malah sering meninggalkannya karena lupa waktu.
Kita lebih asyik nongkrong di mall berjam-jam sambil ngelihat baju yang lagi ngetrend, daripada masuk ke masjid untuk mendirikan shalat.
Ketika Allah Swt. melarang mendekati zina, melalui firman-Nya, “laa taqrabuu zina”; eh, kita malah lupa diri karena saking asyiknya ngobrol dan nonton film di bioskop berduaan dengan kekasih.
Allah pun tak pernah kita ingat sedikit pun, adab pergaulan Islami dipinggirkan, dan hasrat diumbar, sehingga kita merasa berbunga-bunga tatkala tangan bersentuhan tangan dengan kekasih.
Ketika Allah Swt. mewajibkan berbuat baik kepada orang tua, kita malah sering marah kepadanya ketika uang jajan berkurang.
Dunia seolah sempit dan pengap ketika kita hanya diberi uang jajan sepuluh ribu, tetapi dengan sekejap menghabiskan uang jutaan hanya untuk menonton konser Boy Band favorit.
Ketika Allah Swt. melarang untuk meniru budaya asing yang tidak Islami, dengan pongah dan sombong kantung belanjaan kita dipenuhi baju dan pakaian yang mengumbar aurat.
Kita, berkata kasar ketika ada orang yang mengingatkan. Hanya dengan alasan mumpung masih muda belia, manfaatkan waktu untuk bersenang-senang. Tobat mah nanti kalau sudah nikah dan berkeluarga.
Ingat, bahwa hidup di dunia tidak abadi. Saya bisa memastikan bahwa kita tidak ingin mati dalam keadaan hina dina di hadapan Allah.
Bahkan, bisa saya pastikan bahwa kita semua pasti takut pada kematian. Kita tidak ingin hidup dalam masa yang singkat sesingkat-singkatnya. Kita selalu berharap bisa panjang usia ketika sedang terbaring sakit di Rumah Sakit.
Namun bagaimana pun caranya, di dunia ini tak akan ada yang abadi. Bagaimana pun membantahnya, secara ilmiah pun bisa dibuktikan manusia tidak bisa abadi.
Karena itu, sebelum maksiat menghancurkan hidup di akhirat, maka bertobatlah. Segeralah berhijrah atau pindah dari maksiat menuju taat.
Karena dengan ketaatan yang kita miliki, akan melahirkan perbuatan baik yang bermanfaat di akhirat kelak. Kebahagiaan nan abadi pun, akan kita dapatkan dan rasakan kenikmatannya.
“Sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling serakah kepada kehidupan dunia, bahkan lebih serakah dari orang musyrik. Masing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal hidup panjang itu tidak akan menjamin dijauhkan dari siksaan neraka. Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 96).
Tahukah kawan, Islam bukan sekadar amal yang bersifat lisaniyah semata. Lebih jauh dari itu, Islam harus menjadi ajaran yang tertancap kokoh di dalam jiwa kita. Ketika tertancap di jiwa, tentunya akan mengejawantah dalam bentuk sikap dan tindakan (akhlak mulia).
Di dalam Al-Quran juga, kita kerap menemukan ayat yang mengandung kalimat “amanu” (beriman) bersanding dengan kalimat “amalu” (berbuat). Ini menunjukkan bahwa di dalam ajaran Islam, amal perbuatan itu harus kita perhatikan.
Ketika kita membeli kitab literarur keislaman – seperti Al-Quran dan kitab Al-Hadits – bukan untuk disimpan di rak buku; bukan pula hanya sekadar dibaca. Tetapi, isi dari kitab tersebut harus mencerahkan dan diamalkan dalam hidup keseharian.
Karena itu, kita mesti memahami Al-Quran, sunah dan ilmu pengetahuan dengan segenap potensi kesadaran batiniyah dan lahiriyah. Apa yang kita ketahui harus diamalkan melalui perbuatan yang baik untuk kepentingan hidup di akhirat kelak.
Mata digunakan untuk membaca pesan ilahi yang tersirat, dengan membaca buku yang mengandung pesan-pesan Allah. Hati digunakan untuk membaca apa yang tersurat, sehingga memunculkan kondisi ketenangan jiwa.
Telinga digunakan untuk mendengar Firman-Nya bukan sekadar telinga lahiriah tapi telinga batin. Gerak jasad harus diarahkan untuk terejawantahnya kebaikan dan kebermanfaatan lingkungan sekitar.
Itulah yang disebut dengan akhlak yang kemuliaannya dapat dilihat dari aktivitasnya yang baik ketika menjalani kehidupan ini. Kita akan disebut manusia jujur setelah berhasil mengamalkan prinsip-prinsip kejujuran ketika berinteraksi dengan teman, tetangga, dan orang lain.
Kita juga disebut manusia lembut, setelah mampu memperlakukan orang lain dengan lembut. Kita akan disebut sebagai orang-orang bertakwa ketika ketaatan memenuhi seluruh aktivitas hidup, tidak melakukan perbuatan maksiat.
Rasulullah Saw. bersabda, "Kebajikan adalah akhlak mulia.” (Al-hadits).