Kenapa kita harus berhijrah?
“Harimau mati meninggalkan belangnya. Gajah mati meninggalkan gadingnya. Manusia mati meninggalkan amalnya.”
Nah, karena itulah, perbuatan baik yang kita lakukan pada dasarnya merupakan investasi jangka panjang. Kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain sesungguhnya berguna untuk diri kita sendiri.
Hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Madinah adalah sebuah peristiwa fenomenal dalam sejarah Islam. Setelah peristiwa itu, dakwah Islam mengalami kemajuan dan menyebarnya kebaikan ke seluruh jazirah Arab.
Hanya dalam waktu singkat, yakni sekira 13 tahun setelah hijrah, Muslim berkembang pesat. Padahal, saat Rasul Saw. masih tinggal di Mekah, jumlah orang yang menyambut dakwah Islam dalam kurun 10 tahun dapat dihitung dengan jari.
Hijrah yang membuahkan keberhasilan seperti yang dialami Rasul Saw. sesungguhnya telah dijanjikan Allah dalam ayat-Nya, ”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. An-Nisa [4]: 100).
Aktivitas hijrah yang menghasilkan kemajuan dan kebaikan lebih utama daripada perpindahan tempat semata. Hijrah hakiki ialah hijrah keimanan dan tumbuhnya kebaikan dalam diri, yakni berhijrah dari aktivitas penuh maksiat menjadi penuh dengan ketaatan pada Allah.
Hijrah yang berhasil tidak hanya dialami oleh Rasul Saw. semata. Hampir semua negara dan peradaban besar di dunia dibangun oleh masyarakat pendatang yang berhijrah (muhajir).
Sebagai contoh yang paling modern, Amerika Serikat yang kini dianggap sebagai salah satu negara termaju di dunia, baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun sosial budaya, dibangun oleh masyarakat pendatang yang hijrah dari suatu tempat.
Demikian juga yang terjadi di negara kita, Indonesia. Kelompok masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi adalah etnis pendatang, yaitu Tiongkok. Bahkan, kelompok masyarakat yang maju secara ekonomi, sosial, dan budaya di kota-kota besar seringkali adalah penduduk pendatang, bukan penduduk asli.
Lantas, ada apa di balik fenomena hijrah?
Hijrah, secara bahasa, berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain. Aktivitas pindah ini biasa juga disebut gerak. Nah, dalam gerak inilah terdapat rahasia keberhasilan peristiwa hijrah.
Di alam ini, segala sesuatu yang bergerak relatif lebih sehat dan maju. Otak yang sering digerakkan untuk berpikir akan jauh lebih sehat dan berkembang dibandingkan dengan otak yang tidak pernah digerakkan untuk berpikir.
• Hati yang biasa digerakkan untuk berzikir lebih sehat dibandingkan dengan hati yang tidak pernah berzikir.
• Demikian juga dengan tubuh yang aktif bergerak dengan olahraga akan lebih lebih sehat dibandingkan dengan tubuh yang tidak pernah berolahraga sama sekali.
Tidak hanya dialami makhluk hidup, gerak yang menghasilkan kondisi sehat juga terjadi pada benda mati. Air yang mengalir, misalnya, lebih sehat daripada air yang tergenang. Sebersih-bersihnya air yang tergenang, air tersebut tetaplah akan menjadi sumber penyakit.
Dalam salah satu syairnya, Imam Syafi’i menuturkan hal tersebut: Sesungguhnya, aku pernah melihat air yang tergenang/Jika air itu mengalir, maka ia akan menyehatkan/Sebaliknya, jika air itu tergenang, maka ia akan merusak//
Jadi, aktivitas gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain inilah yang menjadi prinsip dasar hijrah yang menghasilkan kemajuan.
Pantas saja, Allah Swt. mendorong hamba-Nya untuk selalu bergerak di atas bumi dengan melakukan perjalanan, pergerakan dan perpindahan; yakni berhijrah.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl [16]: 36).
Sebagaimana Allah telah perintahkan untuk selalu bergerak, mari kita mulai dengan sesuatu yang amat sederhana. Bergeraklah dengan selalu melandaskan diri pada kebaikan.
Hal yang paling sederhana adalah dengan senantiasa membantu orang lain. Percayalah, membantu seseorang sesungguhnya adalah membantu diri kita sendiri di masa yang akan datang.
Jangan pernah berpikir bahwa berbuat baik itu merugikan. Tak perlu ragu untuk membantu sesama, terutama orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan kita. Tidak ada kebaikan yang akan merugikan diri kita sendiri.
Kebaikan yang kita lakukan, terutama pada orang-orang yang amat membutuhkan, adalah investasi kebaikan yang sangat menguntungkan. Semuanya akan menjadi tabungan amal. Tabungan amal inilah yang akan mengukir keabadian hidup.
Mengapa saya sebut keabadian hidup?
Sebab, amal manusia akan selalu dikenang.
Rasul Saw. pernah menyampaikan pelajaran kepada para sahabat bahwa panjang umur tidaklah dihitung dari seberapa lama orang itu hidup di dunia. Panjang umur bukan persoalan usia. Akan tetapi, seseorang yang panjang umur adalah seseorang yang hidupnya senantiasa dipenuhi amal-amal yang baik.
Siapa, sih, yang tidak mau hidup abadi?
Setiap manusia memiliki naluri untuk hidup abadi. Kita tentu sudah tidak asing dengan Chairil Anwar yang dalam sajaknya berkata dengan penuh semangat, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Sayangnya, sudah menjadi ketentuan Allah bahwa tidak ada manusia yang jasadnya abadi. Raga kita tentu terbatas oleh ruang dan waktu. Akan tetapi, hidup kita bisa menjadi abadi dengan semua amal yang dilakukan selama hidup.
Nama kita akan menjadi abadi karena dikenang oleh kehidupan. Lihat saja jalan-jalan yang kita lalui setiap hari. Berapa banyak di antara jalan-
jalan tersebut yang ditandai dengan nama-nama seseorang.
Tentu, nama-nama yang disematkan sebagai nama jalan itu adalah nama orang-orang yang selama hidupnya dipenuhi dengan kebaikan. Kebaikan mereka bermanfaat bagi orang banyak, bahkan bangsa dan negara. Perbuatan mereka itulah yang membuat mereka selalu dikenang.
Begitu juga dengan perbuatan jahat. Seseorang yang selama hidupnya dipenuhi dengan kejahatan akan selalu dikenang dalam kejahatan. Rasanya, tidak ada seorang pun yang ingin dikenal karena keburukan yang diperbuatnya.
Apalagi keburukan itu melekat dalam namanya dan dikenang seumur hidup, bahkan setelah dia mati. Inilah yang harus membuat kita selalu berhati-hati dalam berbuat.
Tentu, ini bukan berarti kita beramal agar selalu dikenang oleh orang-orang setelah mati kelak. Ini hanya pertanda bahwa amal yang dilakukan manusia selama hidup tidak pernah mati. Bahkan, semua amal tersebut akan menjadi ladang-ladang kebaikan yang akan menyelamatkan kita di akhirat kelak.
Ladang amal itu berisi pahala kebaikan yang kita lakukan selama hidup. Pahala tersebut tentu bukan milik orang lain. Balasan amal kita selama hidup tidak pernah tertukar dengan amal orang lain. Sekali lagi, kebaikan yang kita lakukan pada hakikatnya adalah untuk kita sendiri. Bahkan, amal itu bukan pula untuk Allah Swt.
Allah tidak pernah butuh shalat, puasa, zakat, atau ibadah haji yang kita tunaikan. Allah juga tidak memerlukan amal yang kita laksanakan. Itu karena Allah Mahakaya. Dia memiliki segalanya sehingga tidak ada sedikit pun amal kita lakukan untuk Allah. Semua hal yang kita lakukan hanyalah untuk kita sendiri.
Kita mampu bergerak dan bernapas hanyalah karena Allah. Kehidupan ini pun hanya pinjaman. Allah telah memberikan sebuah kehidupan yang dapat kita manfaatkan hanya untuk menabung banyak amal untuk hidup kita kelak di akhirat. Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada umat-Nya.
Jadi, pilihannya hanya dua: kita mau beriman dan beramal saleh atau kafir dan berbuat kejahatan. Semuanya hanya kita yang bisa menentukan. Silakan tentukan dari sekarang! Toh, semuanya akan kembali pada diri kita.
Di antara dua pilihan itu, Allah hanya mengingatkan pada kita bahwa kelak ada hari pertanggungjawaban. Kita semua akan mempertanggungjawabkan pilihan tersebut. Kita bertanggung jawab atas semua amal yang kita pilih. Dan, konsekuensinya adalah kita akan menerima pembalasan sesuai amal yang kita lakukan.
Lihat, Allah saja yang menciptakan kita sangat sayang pada kita, masa kita sendiri tidak sayang pada diri sendiri?
Allah telah menunjukkan pilihan yang akan memberikan kita kebahagiaan di akhirat kelak, masa kita masih mau pura-pura tidak tahu apa yang membahagiakan itu.
Sekarang, kita tahu bahwa bergerak untuk kebaikan pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri sendiri. Baik untuk hidup kita di dunia maupun di akhirat kelak.
Jadi, berbuat baik adalah tanda bahwa kita sayang pada diri kita sendiri. Kita tidak akan merelakan diri ini memilih jalan yang salah, yaitu dengan menjadi kafir dan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah Swt.
Menebar kebaikan untuk orang lain adalah cara kita menanam saham bagi keabadian hidup. Hanya saja, saham ini sudah dijamin Allah akan menguntungkan. Tidak akan rugi sama sekali. Semakin besar kita menanam saham, maka semakin besar pula keuntungan yang akan kita peroleh.
Meski jasad kita akan berhenti berfungsi suatu saat kelak, namun hidup kita sejatinya akan selalu abadi. Dan, tentu kita semua ingin hidup abadi dalam kebaikan, bukan?
Nah, untuk itulah, jangan lelah berbuat baik. Semakin banyak amal baik yang kita lakukan, semakin banyak kesempatan untuk selalu dikenang dan didoakan oleh generasi kita selanjutnya.
Jangan lupa bahwa hidup ini hanya pinjaman yang kelak akan diambil kembali oleh pemiliknya. Jika kita enggan berbuat baik, maka kita hanya akan mengisi pinjaman hidup kita dengan keburukan.
Dengan demikian, kita telah menyia-nyiakan nikmat yang telah Allah berikan. Maka, sejatinya kita hanya ingin mencicipi hidup tanpa mau merasakan keabadian kecuali hanya dalam keburukan.
Mari sayangi diri kita sendiri. Isilah hari-hari kita dengan perbuatan baik. Jangan lelah dan bosan karena berbuat baik tidak pernah ada batasnya.
Jika kita telah melakukan kebaikan hari ini, tingkat kebaikan itu esok hari. Karena sesungguhnya, kualitas kebaikan seseorang tidak pernah ada ujungnya. Teruslah perbaiki kualitas itu.
Salah satu cara paling ampuh dalam menjaga dan meningkatkan kualitas perbuatan baik itu adalah dengan senantiasa konsisten dengan amal yang kita perbuat. Konsistensi itu menunjukkan kita sebagai hamba yang istiqamah. Imbalannya, Allah yang Mahaadil pun akan senantiasa konsisten dalam menebarkan rahmat-Nya.
Bagi yang belum banyak berbuat baik, tidak ada kata terlambat untuk memulai dan meningkatkan kebaikan. Sangat banyak kesempatan untuk berbuat baik.
Tidak ada sedikit pun waktu yang tidak bisa kita isi dengan berbuat baik. Dimulai saat kita terbangun di pagi hari hingga kita bersiap beristirahat panjang di malam hari. Paling tidak, bersyukur atas semua nikmat Allah pun sudah menjadi langkah kecil untuk berbuat baik.
Adapun bagi yang saat ini masih bergelimang dosa, salah, dan khilaf, tidak perlu berkecil hati. Masih banyak waktu untuk memperbaiki diri dan berbuat baik.
Kapan waktu yang tepat untuk memulai?
Sekarang!
Jangan pernah tunggu waktu apalagi menunda. Segera hentikan semua perbuatan yang buruk. Gantilah dengan amal yang baik. Tahan diri untuk tidak kembali melakukan maksiat. Kuatkan hati untuk mulai mengerjakan kebaikan; sekecil apapun itu.
Tentu, kita akan merasa berat saat mencoba hal yang baru. Terutama jika kita terbiasa terlena dalam semua kenikmatan yang diperoleh dari berbuat maksiat. Akan tetapi, percayalah bahwa tidak ada perjuangan yang diperoleh dengan usaha yang ringan dan selalu menyenangkan.
Luruskan niat. Tekad yang bulat, keinginan yang kuat akan menghantarkan kita pada diri yang taat. Pribadi yang mendatangkan maslahat, bermanfaat bagi umat; bukan lantas pribadi yang suka maksiat, mendatangkan azab dan merugikan umat. ***